Archive for April 2014
sejarah panjalu
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur kehadirat Allah swt. yang telah memberikan rahmat, taufiq serta hidayah-Nya kepada kami sehingga kami dapat menyusun buku ini dengan baik dan lancar.Buku ini adalah sebagai wujud representasi kami terhadap pelajaran Sejarah, dan sebagai pemenuhan tugas membuat tugas buku sejarah. Tak lupa dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu terselesainya pembuatan buku ini, khususnya kepada:
1. Bapak Heri Heryana, S.pd selaku guru dari Sejarah
2. Teman
yang sangat sportif dan kompak, dalam proses pembuatan buku ini
Semoga
buku ini dapat memberikan
suatu pencerahan baru dan menambah khasanah ilmu pengetahuan kepada kita semua
khususnya dalam bidang Sejarah Ciamis,
dan tak lupa semoga semua amal kebaikan di ridoi Allah swt.Akhirnya,
tak ada gading yang tak retak, kami mohon maaf jika di dalam buku ini masih ada
kekurangan, dan kami mohon pula saran perbaikannya demi kemajuan kami.
Ciamis,April 2014
Penulis
DAFTAR ISI
Bab 1 Pendahuluan
A.
Latar Belakang Masalah
Menurut
Munoz (2006) Kerajaan Panjalu Ciamis (Jawa Barat) adalah penerus Kerajaan
Panjalu Kediri (Jawa Timur) karena setelah Maharaja Kertajaya Raja Panjalu
Kediri terakhir tewas di tangan Ken Angrok (Ken Arok) pada tahun 1222,
sisa-sisa keluarga dan pengikut Maharaja Kertajaya itu melarikan diri ke
kawasan Panjalu Ciamis. Itulah sebabnya kedua kerajaan ini mempunyai nama yang
sama dan Kerajaan Panjalu Ciamis adalah penerus peradaban Panjalu Kediri.
Nama
Panjalu sendiri mulai dikenal ketika wilayah itu berada dibawah pemerintahan
Prabu Sanghyang Rangga Gumilang; sebelumnya kawasan Panjalu lebih dikenal
dengan sebutan Kabuyutan Sawal atau Kabuyutan Gunung Sawal. Istilah Kabuyutan identik dengan daerah Kabataraan yaitu daerah yang memiliki kewenangan keagamaan
(Hindu) seperti Kabuyutan Galunggung atau Kabataraan Galunggung.
Kabuyutan
adalah suatu tempat atau kawasan yang dianggap suci dan biasanya terletak di
lokasi yang lebih tinggi dari daerah sekitarnya, biasanya di bekas daerah
Kabuyutan juga ditemukan situs-situs megalitik (batu-batuan purba) peninggalan masa prasejarah.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka
terdapat dirumuskan masalahnya adalh sebagai berikut :
1.
asal –usul nama
Panjalu?
2.
Siapa saja yang menjadi raja di kerajanan Panjalu?
3.
Dimana pusat kerjaan panjalu?
4.
Kapan kerajan tersebut masuk islam?
C.
Tujuan penelitian
1.
Untuk mengetahui asal mula kerajaan panjalu
2.
Mengetahui siapa saja yg pernah menjadi raja
3.
Kapan kerajan panjalu menjadi islam
4.
Dimana pusat kerjaan panjalu
D.
Manfaat hasil penelitian
Ada pun manfaat hasil penelitian ini
mencakup dua hal yaitu:
1.
Manfaat akademik ilmiah
Hasil penelitian ini di harapkan dapat menyumbang
khasanah ilmu pengetahuan dan mengembangkan penelitian pendidikan sejarah.
2.
Manfaat sosial
praktis
a.
Bagi siswa
Hasil
penelitian ini di harapkan semakin meningkatkan wawasan siswa
b.
Bagi guru
Hasil
penelitian ini diharapkan dapa dijadikan acuan selanjutnya untuk lebih
menekankan pada pengajar sejarah
c.
Bagi penulis
Penelitian ini
akan memberiakn manfaat yang sangat berharga berupa pengalaman praktis dalam
penelitian ilmiah
E.
Metode penelitian
Kami membuat buku ini mencarinya dengan cara mencari informasinya di webset.
F. Sistematika
Pembahasan
Adapun sistematika pembahsan skripsi
ini tersusun menjadi 3 bab, yang terdiri atas:
BAB1 pendahuluan : yang berisi tentang latar belakang masalah
,rumusan masalah hasil penelitian, tujuan penelitian , manfafat penelitian ,
metode penelitian dan sistematika pembahasan
Bab
2 asal-usul : yg berisi tentang asal usul kerajan panajalu
Bab3
pemerintahan : yang berisi tetang siaiap saja yg menduduki
kerajan dari awal sampai akhir
BAB 2 SEJARAH PANJALU
ü
Asal-usul
Panjalu berasal dari kata jalu (bhs. Sunda) yang berarti jantan, jago, maskulin, yang didahului dengan
awalan pa (n). Kata panjalu berkonotasi dengan kata-kata: jagoan, jawara, pendekar, warrior (bhs. Inggeris: pejuang, ahli olah perang), dan knight (bhs. Inggeris: kesatria, perwira.)
Ada
pula orang Panjalu yang mengatakan bahwa kata panjalu berarti
"perempuan" karena berasal dari kata jalu yang diberi awalan pan,
sama seperti kata male (bhs. Inggeris : laki-laki) yang apabila
diberi prefiks fe + male menjadi female
(bhs.Inggeris : perempuan). Konon nama ini disandang karena Panjalu pernah
diperintah oleh seorang ratu bernama Ratu Permanadewi.
Mengingat
sterotip atau anggapan umum watak orang Panjalu sampai sekarang di mata orang
Sunda pada umumnya, atau dibandingkan dengan watak orang Sunda pada umumnya,
orang Panjalu dikenal lebih keras, militan juga disegani karena konon memiliki
banyak ilmu kanuragan warisan dari nenek moyang mereka, oleh karena itu arti
kata Panjalu yang pertama sepertinya lebih mendekati kesesuaian.
Menurut
Munoz (2006) Kerajaan Panjalu Ciamis (Jawa Barat) adalah penerus Kerajaan
Panjalu Kediri (Jawa Timur) karena setelah Maharaja Kertajaya Raja Panjalu
Kediri terakhir tewas di tangan Ken Angrok (Ken Arok) pada tahun 1222,
sisa-sisa keluarga dan pengikut Maharaja Kertajaya itu melarikan diri ke
kawasan Panjalu Ciamis. Itulah sebabnya kedua kerajaan ini mempunyai nama yang
sama dan Kerajaan Panjalu Ciamis adalah penerus peradaban Panjalu Kediri.
Nama
Panjalu sendiri mulai dikenal ketika wilayah itu berada dibawah pemerintahan
Prabu Sanghyang Rangga Gumilang; sebelumnya kawasan Panjalu lebih dikenal
dengan sebutan Kabuyutan Sawal atau Kabuyutan Gunung Sawal. Istilah Kabuyutan identik dengan daerah Kabataraan yaitu daerah yang memiliki kewenangan keagamaan
(Hindu) seperti Kabuyutan Galunggung atau Kabataraan Galunggung.
Kabuyutan
adalah suatu tempat atau kawasan yang dianggap suci dan biasanya terletak di
lokasi yang lebih tinggi dari daerah sekitarnya, biasanya di bekas daerah
Kabuyutan juga ditemukan situs-situs megalitik (batu-batuan purba) peninggalan masa prasejarah.
BAB 3
PEMERINTAHAN
1.
Kekuasaan Kabataraan (Tahta
Suci)
Pendiri Kerajaan Panjalu adalah Batara Tesnajati yang
petilasannya terdapat di Karantenan Gunung Sawal. Mengingat gelar Batara yang disandangnya, maka kemungkinan besar pada awal
berdirinya Panjalu adalah suatu daerah Kabataraan sama halnya dengan Kabataraan
Galunggung yang didirikan oleh Batara Semplak Waja putera dari Sang
Wretikandayun (670-702), pendiri Kerajaan Galuh.
Daerah
Kabataraan adalah tahta suci yang lebih menitikberatkan pada bidang kebatinan,
keagamaan atau spiritual, dengan demikian seorang Batara selain berperan
sebagai Raja juga berperan sebagai Brahmana atau Resiguru. Seorang Batara di Kemaharajaan Sunda mempunyai kedudukan yang sangat
tinggi dan penting karena ia mempunyai satu kekuasaan istimewa yaitu kekuasaan
untuk mengabhiseka atau mentahbiskan atau menginisiasi penobatan seorang
Maharaja yang naik tahta Sunda.
Menurut
sumber sejarah Kerajaan Galunggung, para Batara yang pernah bertahta di
Galunggung adalah Batara Semplak Waja, Batara Kuncung Putih, Batara Kawindu,
Batara Wastuhayu, dan Batari Hyang. Berdasarkan keterangan Prasasti Geger
Hanjuang, Batari Hyang dinobatkan sebagai penguasa Galunggung pada tanggal 21
Agustus 1111 M atau 13 Bhadrapada 1033 Caka. Kabataraan Galunggung adalah cikal
bakal Kerajaan Galunggung yang dikemudian hari menjadi Kabupaten Sukapura (Tasikmalaya).
Besar
kemungkinan setelah berakhirnya periode kabataraan di Galunggung itu kekuasaan
kabataraan di Kemaharajaan Sunda dipegang oleh Batara Tesnajati dari Karantenan
Gunung Sawal Panjalu. Adapun para batara yang pernah bertahta di Karantenan
Gunung Sawal adalah Batara Tesnajati, Batara Layah dan Batara Karimun Putih.
Pada masa kekuasaan Prabu Sanghyang Rangga Gumilang atau Sanghyang Rangga Sakti
putera Batara Karimun Putih, Panjalu berubah dari kabataraan menjadi sebuah
daerah kerajaan.
Diperkirakan
kekuasaan kabataraan Sunda kala itu dilanjutkan oleh Batara Prabu Guru Aji
Putih di Gunung Tembong Agung, Prabu Guru Aji Putih adalah seorang tokoh yang
menjadi perintis Kerajaan Sumedang Larang. Prabu Guru Aji Putih digantikan oleh
puteranya yang bernama Prabu Resi Tajimalela, menurut sumber sejarah Sumedang Larang, Prabu Resi
Tajimalela hidup sezaman dengan Maharaja Sunda yang bernama Ragamulya
Luhurprabawa (1340-1350). Prabu Resi Tajimalela digantikan oleh puteranya yang bernama Prabu
Resi Lembu Agung, kemudian Prabu Resi Lembu Agung digantikan oleh adiknya yang
bernama Prabu Gajah Agung yang berkedudukan di Ciguling. Dibawah pemerintahan
Prabu Gajah Agung, Sumedang Larang bertransisi dari daerah kabataraan menjadi
kerajaan.
Kekuasaan
kabataraan di Kemaharajaan Sunda kemudian dilanjutkan oleh Batara Gunung Picung
yang menjadi cikal bakal Kerajaan Talaga (Majalengka). Batara Gunung Picung adalah putera Suryadewata,
sedangkan Suryadewata adalah putera bungsu dari Maharaja Sunda yang bernama
Ajiguna Linggawisesa (1333-1340), Batara Gunung Picung digantikan oleh puteranya yang bernama Pandita
Prabu Darmasuci, sedangkan Pandita Prabu Darmasuci kemudian digantikan oleh
puteranya yang bernama Begawan Garasiang. Begawan Garasiang digantikan oleh
adiknya sebagai Raja Talaga yang bernama Sunan Talaga Manggung dan sejak itu
pemerintahan Talaga digelar selaku kerajaan.
2. Hubungan dengan
Kemaharajaan Sunda
Kemaharajaan Sunda adalah suatu kerajaan yang merupakan penyatuan dua
kerajaan besar di Tanah Sunda yang saling terkait erat, yaitu Kerajaan
Sunda yang
didirikan Maharaja Tarusbawa (669-723)
dan terletak di sebelah barat Sungai Citarum serta Kerajaan Galuh yang didirikan Sang Wretikandayun
(670-702) dan terletak di sebelah timur Sungai Citarum. Kerajaan Sunda dan
Galuh adalah pecahan dari Kerajaan
Tarumanagara
(358-669), kemudian kedua kerajaan tersebut dipersatukan kembali dibawah satu
mahkota Maharaja Sunda oleh cicit Wretikandayun bernama Sanjaya (723-732).
Putera
Sena atau Bratasenawa (709-716) Raja Galuh ketiga ini sebelumnya bergelar
Rakeyan Jamri dan setelah menjadi menantu Maharaja Sunda Tarusbawa diangkat
menjadi penguasa Kerajaan Sunda bergelar Sang Harisdarma. Sang Harisdarma
setelah berhasil menyatukan Galuh dengan Sunda bergelar Sanjaya.
Berdasarkan
peninggalan sejarah seperti prasasti dan naskah kuno, ibu kota Kerajaan Sunda
berada di daerah yang sekarang menjadi kota Bogor yaitu Pakwan Pajajaran, sedangkan ibu kota Kerajaan Galuh adalah yang
sekarang menjadi kota Ciamis, tepatnya di Kawali. Namun demikian, banyak sumber peninggalan sejarah yang menyebut
perpaduan kedua kerajaan ini dengan nama Kerajaan Sunda saja atau tepatnya
Kemaharajaan Sunda dan penduduknya sampai sekarang disebut sebagai orang Sunda.
Panjalu
adalah salah satu kerajaan daerah yang termasuk dalam kekuasaan Kemaharajaan
Sunda karena wilayah Kemaharajaan Sunda sejak masa Sanjaya (723-732)
sampai dengan Sri
Baduga Maharaja (1482-1521) adalah seluruh Jawa Barat termasuk Provinsi Banten dan DKI Jakarta serta bagian barat Provinsi Jawa Tengah, yaitu mulai dari Ujung Kulon di sebelah barat sampai ke Sungai Cipamali (Kali
Brebes) dan Sungai Ciserayu (Kali Serayu) di sebelah timur.
Menurut
Naskah
Wangsakerta,
wilayah Kemaharajaan Sunda juga mencakup Provinsi Lampung sekarang sebagai akibat dari pernikahan antar
penguasa daerah itu, salah satunya adalah Niskala Wastu Kancana (1371-1475) yang menikahi Nay Rara Sarkati puteri penguasa Lampung, dan dari
pernikahan itu melahirkan Sang Haliwungan yang naik tahta Pakwan Pajajaran
(Sunda) sebagai Prabu Susuktunggal (1475-1482), sedangkan dari Nay Ratna Mayangsari puteri sulung Hyang Bunisora (1357-1371), Niskala Wastu Kancana berputera Ningrat Kancana yang naik tahta
Kawali (Galuh) sebagai Prabu Dewa Niskala (1475-1482).
Lokasi
Kerajaan Panjalu yang berbatasan langsung dengan Kawali dan Galuh juga
menunjukkan keterkaitan yang erat dengan Kemaharajaan Sunda karena menurut
Ekadjati (93:75) ada empat kawasan yang pernah menjadi ibukota Sunda yaitu: Galuh, Parahajyan Sunda, Kawali, dan Pakwan Pajajaran.
Kerajaan-kerajaan
lain yang menjadi bagian dari Kemaharajaan Sunda adalah: Cirebon Larang,
Cirebon Girang, Sindangbarang, Sukapura, Kidanglamatan, Galuh, Astuna
Tajeknasing, Sumedang Larang, Ujung Muhara, Ajong Kidul, Kamuning Gading,
Pancakaki, Tanjung Singguru, Nusa Kalapa, Banten Girang dan Ujung Kulon (Hageman,1967:209). Selain
itu Sunda juga memiliki daerah-daerah pelabuhan yang dikepalai oleh seorang
Syahbandar yaitu Bantam (Banten), Pontang (Puntang), Chegujde (Cigede),
Tanggerang, Kalapa (Sunda Kalapa), dan Chimanuk (Cimanuk) (Armando Cortesao,
1944:196).
Kaitan lain yang menarik antara
Kemaharajaan Sunda dengan Kerajaan Panjalu adalah bahwa berdasarkan catatan
sejarah Sunda, Hyang Bunisora digantikan oleh keponakan sekaligus menantunya yaitu Niskala Wastu Kancana yang setelah mangkat dipusarakan di Nusa Larang, sementara menurut Babad Panjalu tokoh yang
dipusarakan di Nusa Larang adalah Prabu Rahyang Kancana putera dari Prabu Sanghyang Borosngora.Ada dugaan Sanghyang Borosngora yang menjadi Raja Panjalu adalah Hyang Bunisora Suradipati, ia adalah adik Maharaja Linggabuana yang gugur di palagan Bubat melawan tentara Majapahit pada tahun 1357. Hyang Bunisora menjabat sebagai Mangkubumi Suradipati mewakili keponakannya yaitu Niskala Wastu Kancana yang baru berusia 9 tahun atas tahta Kawali . Hyang Bunisora juga dikenal sebagai Prabu Kuda Lelean dan Batara Guru di Jampang karena menjadi seorang petapa atau resi yang mumpuni di Jampang (Sukabumi). Tentunya perlu penelitian lebih lanjut untuk memastikan dugaan ini.
Sementara itu sumber lain dari luar mengenai kaitan Panjalu dengan Sunda yakni dari Wawacan Sajarah Galuh memapaparkan bahwa setelah runtuhnya Pajajaran, maka putera-puteri raja dan rakyat Pajajaran itu melarikan diri ke Panjalu, Kawali, dan Kuningan.
3. Ibukota Panjalu
Ibukota atau pusat kerajaan Panjalu
berpindah-pindah sesuai dengan perkembangan zaman, beberapa lokasi yang pernah
menjadi pusat kerajaan adalah :
ü
Karantenan Gunung Sawal
Karantenan
Gunung Sawal menjadi pusat kerajaan semasa Panjalu menjadi daerah Kebataraaan,
yaitu semasa kekuasaan Batara Tesnajati, Batara Layah dan Batara Karimun Putih.
Di Karantenan Gunung Sawal ini terdapat mata air suci dan sebuah artefak berupa
situs megalitik berbentuk batu pipih berukuran kira-kira 1,7 m x 1,5 m x 0,2 m.
Batu ini diduga kuat digunakan sebagai sarana upacara-upacara keagamaan,
termasuk penobatan raja-raja Panjalu bahkan mungkin penobatan Maharaja Sunda.
ü
Dayeuhluhur Maparah
Dayeuhluhur
(kota tinggi) menjadi pusat pemerintahan sejak masa Prabu Sanghyang Rangga
Gumilang sampai dengan Prabu Sanghyang Cakradewa. Kaprabon Dayeuhluhur terletak
di bukit Citatah tepi Situ Bahara (Situ Sanghyang). Tidak jauh dari Dayeuhluhur
terdapat hutan larangan Cipanjalu yang menjadi tempat bersemadi Raja-raja
Panjalu. Konon Presiden I RI Ir
Soekarno juga pernah berziarah ke tempat ini sewaktu mudanya
untuk mencari petunjuk Tuhan YME dalam rangka perjuangan pergerakan kemerdekaan
RI.
ü Nusa Larang
Prabu
Sanghyang Borosngora memindahkan kaprabon (kediaman raja) dari Dayeuhluhur ke Nusa
Larang. Nusa Larang adalah sebuah pulau
yang terdapat di tengah-tengah Situ Lengkong.
Dinamai juga Nusa
Gede karena pada zaman dulu ada juga
pulau yang lebih kecil bernama Nusa Pakel (sekarang sudah tidak ada karena
menyatu dengan daratan sehingga menyerupai tanjung). Untuk menyeberangi situ
menuju Keraton Nusa Larang dibangun sebuah Cukang Padung (jembatan) yang
dijaga oleh Gulang-gulang (penjaga gerbang) bernama Apun Otek. Sementara Nusa
Pakel dijadikan Tamansari dan Hujung Winangun dibangun Kapatihan untuk Patih
Sanghyang Panji Barani.
ü Dayeuh Nagasari Ciomas
Dayeuh Nagasari dijadikan kediaman raja pada masa
pemerintahan Prabu Rahyang Kancana sampai dengan pemerintahan Bupati Raden Arya
Wirabaya. Dayeuh Nagasari sekarang termasuk kedalam wilayah Desa Ciomas,
Kecamatan Panjalu, Ciamis.Pada masa pemerintahan Prabu Rahyang Kancana, di Ciomas
juga terdapat sebuah pemerintahan daerah yang dikepalai oleh seorang Dalem
(Bupati) bernama Dalem Mangkubumi yang wilayahnya masuk kedalam kekuasaan
Kerajaan Panjalu.
·
Silsilah Ciomas
Panjalu
1.Buyut Asuh.
2.Buyut Pangasuh.
3.Buyut Surangganta.
4.Buyut Suranggading.
5.Dalem Mangkubumi.
6.Dalem Penghulu Gusti.
7.Dalem Wangsaniangga.
8.Dalem Wangsanangga.
9.Dalem Margabangsa.
10.Demang Wangsadipraja.
Menjabat sebagai Patih Panjalu pada masa pemerintahan Arya Sumalah dan Pangeran
Arya Sacanata, berputera Demang Wargabangsa I.
11.Demang Wargabangsa I.
Menjabat sebagai Patih Panjalu pada masa pemerintahan Arya Wirabaya, berputera
Demang Wargabangsa II.
12.Demang Wargabangsa II.
Menjabat sebagai Patih Panjalu pada masa pemerintahan Tumenggung Wirapraja, memperisteri
Nyi Raden Siti Kalimah binti Raden Jiwakrama bin Pangeran Arya Sacanata,
berputera Demang Diramantri I.
13.Demang Diramantri I.
Menjabat sebagai Patih Panjalu pada masa pemerintahan Tumenggung Cakranagara I,
memperisteri Nyi Raden Panatamantri binti Tumenggung Cakranagara I dan
mempunyai tiga orang anak bernama 1) Demang Diramantri II, 2) Demang
Wangsadipraja, dan Nyi Raden Sanggrana (diperisteri seorang Sultan Cirebon).
14.Demang Diramantri II.
Menjabat sebagai Patih Panjalu pada masa pemerintahan Tumenggung Cakranagara II
menggantikan Demang Suradipraja. Sedangkan sang adik yaitu Demang
Wangsadipraja menjadi Patih Panjalu pada masa pemerintahan Tumenggung
Cakranagara III, Demang Wangsadipraja mempunyai dua orang anak yaitu: 1) Demang
Prajanagara, dan 2) Demang Cakrayuda.
15.Demang Prajanagara
diangkat menjadi Patih Galuh, sedangkan adiknya yang bernama Demang
Cakrayuda diangkat menjadi Patih Kuningan. Demang Cakrayuda memperisteri
Nyi Raden Rengganingrum binti Tumenggung Cakranagara II dan menurunkan putera
bernama Demang Dendareja.
16.Demang Dendareja diangkat
menjadi Patih Galuh.
ü Dayeuh Panjalu
Raden Tumenggung Wirapraja kemudian memindahkan kediaman
bupati ke Dayeuh Panjalu sekarang.
Sementara itu pusat kerajaan Panjalu ditandai dengan
sembilan tutunggul gada-gada perjagaan yaitu patok-patok yang menjadi
batas pusat kerajaan sekaligus berfungsi sebagai pos penjagaan yang dikenal
dengan Batara Salapan, yaitu terdiri dari:
- Sri Manggelong di Kubang
Kelong, Rinduwangi
- Sri Manggulang di Cipalika,
Bahara
- Kebo Patenggel di Muhara
Cilutung, Hujungtiwu
- Sri Keukeuh Saeukeurweuleuh di
Ranca Gaul, Tengger
- Lembu Dulur di Giut Tenjolaya,
Sindangherang
- Sang Bukas Tangan di Citaman,
Citatah
- Batara Terus Patala di Ganjar
Ciroke, Golat
- Sang Ratu Lahuta di Gajah Agung
Cilimus, Banjarangsana
- Sri Pakuntilan di Curug Goong,
Maparah
4.
Masuknya Islam dan Pengaruh Cirebon
Menurut cerita yang disampaikan secara turun-temurun,
masuknya Islam ke Panjalu dibawa oleh Sanghyang Borosngora yang tertarik
menuntut ilmu sampai ke Mekkah lalu di-Islamkan oleh Sayidina
Ali bin Abi Thalib R.A.
Legenda rakyat ini mirip dengan kisah Pangeran Kian Santang atau Sunan Godog Garut, yaitu
ketika Kian Santang atau Raja Sangara (adik Pangeran Cakrabuana Walangsungsang)
yang setelah diislamkan oleh Baginda Ali di Mekkah kemudian berusaha
mengislamkan ayahnya Sang Prabu
Siliwangi.
Sementara itu menurut Babad Panjalu: dari Baginda Ali, Sanghyang
Borosngora mendapatkan cinderamata berupa air zamzam, pedang, cis (tongkat) dan pakaian
kebesaran. Air zamzam tersebut kemudian dijadikan cikal-bakal air Situ
Lengkong, sedangkan pusaka-pusaka pemberian Baginda Ali itu sampai sekarang
masih tersimpan di Pasucian Bumi Alit dan dikirabkan setelah disucikan
setiap bulan Mulud dalam upacara Nyangku di Panjalu pada hari Senin atau
hari Kamis terakhir bulan Maulud (Rabiul
Awal).
Penyebaran Islam secara serentak dan menyeluruh di tatar
Sunda sesungguhnya dimulai sejak Syarif Hidayatullah (1448-1568) diangkat sebagai penguasa Cirebon
oleh Pangeran Cakrabuana bergelar Gusti Susuhunan Jati (Sunan Gunung Jati) dan
menyatakan melepaskan diri dari Kemaharajaan Sunda dengan menghentikan
pengiriman upeti pada tahun 1479. Peristiwa ini terjadi ketika
wilayah Sunda dipimpin oleh Sang Haliwungan Prabu Susuktunggal (1475-1482) di Pakwan Pajajaran dan Ningrat
Kancana Prabu Dewa Niskala (1475-1482) di Kawali. Jauh sebelum itu, para
pemeluk agama Islam hanya terkonsentrasi di daerah-daerah pesisir atau
pelabuhan yang penduduknya banyak melakukan interaksi dengan para saudagar atau
pedagang dari Gujarat, Persia dan Timur Tengah.
Puteri
Prabu Susuktunggal yang bernama Nay Kentring Manik Mayang Sunda kemudian
dinikahkan dengan putera Prabu Dewa Niskala yang bernama Jayadewata. Jayadewata
kemudian dinobatkan sebagai penguasa Pakwan Pajajaran dan Kawali bergelar Sri
Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakwan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata, dengan
demikian maka seperti juga mendiang kakeknya yang bernama Niskala Wastu Kancana
ia menyatukan Pakwan Pajajaran (Sunda) dan Kawali (Galuh) dalam satu mahkota
Maharaja Sunda.
Sri
Baduga Maharaja juga memindahkan ibokota Sunda dari Kawali ke Pakwan Pajajaran,
meskipun hal ini bukan kali pertama ibukota Kemaharaajaan Sunda berpindah
antara Sunda dan Galuh, namun salah satu alasan perpindahan ibukota negara ini
diduga kuat sebagai antisipasi semakin menguatnya kekuasaan Demak dan Cirebon.
Pada
masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja (1481-1521) kerajaan-kerajaan yang masih
mengirimkan upetinya ke Pakwan Pajajaran adalah Galunggung, Denuh, Talaga,
Geger Bandung, Windu Galuh, Malaka, Mandala, Puma, Lewa dan Kandangwesi
(Pleyte, 1911:172). Akan tetapi hal itu tidak bertahan lama karena satu persatu
daerah bawahan Sunda itu ditaklukan Cirebon.
Raja
Talaga Sunan Parunggangsa ditaklukkan Cirebon pada tahun 1529 dan kemudian bersama puterinya Ratu
Sunyalarang, juga menantunya Ranggamantri Pucuk Umun secara sukarela memeluk
Islam. Di Sumedang Larang Ratu Setyasih atau Ratu Inten Dewata atau Ratu Pucuk
Umun (1530-1579) mengakui kekuasaan Cirebon dan
memeluk Islam.
Di
Kerajaan Kuningan Ratu Selawati menyerah kepada pasukan Cirebon, salah seorang
puterinya kemudian dinikahkan dengan anak angkat Gusti Susuhunan Jati yang
bernama Suranggajaya, Suranggajaya kemudian diangkat menjadi Bupati Kuningan
bergelar Sang Adipati Kuningan karena Kuningan menjadi bagian dari Cirebon.
Di
kerajaan Galuh, penguasa Galuh yang bernama Ujang Meni bergelar Maharaja Cipta
Sanghyang di Galuh berusaha mempertahankan wilayahnya dari serbuan pasukan
Cirebon, tapi karena kekuatan yang tidak seimbang maka ia bersama puteranya
yang bernama Ujang Ngekel yang kemudian naik tahta Galuh bergelar Prabu di
Galuh Cipta Permana (1595-1608) juga mau tak mau harus mengakui
kekuasaan Cirebon serta akhirnya memeluk Islam dengan sukarela. Demikian juga
yang terjadi di Kerajaan Sindangkasih (Majalengka). Berdasarkan rentetan
peristiwa-peristiwa yang terjadi di kerajaan-kerajaan tetangganya tersebut,
maka diperkirakan pada periode yang bersamaan Kerajaan Panjalu juga menjadi
taklukan Cirebon dan menerima penyebaran Islam.
Kemaharajaan
Sunda sendiri posisinya semakin lama semakin terjepit oleh kekuasaan
Cirebon-Demak di sebelah timur dan Banten di sebelah barat. Pada tahun 1579 pasukan koalisi Banten-Cirebon
dipimpin oleh Sultan Banten Maulana Yusuf berhasil mengalahkan pertahanan
terakhir pasukan Sunda, kaprabon dan ibukota Kemaharajaan Sunda yaitu Pakwan
Pajajaran berhasil diduduki, benda-benda yang menjadi simbol Kemaharajaan Sunda
diboyong ke Banten termasuk batu singgasana penobatan Maharaja Sunda berukuran
200cm x 160cm x 20cm yang bernama Palangka Sriman Sriwacana (orang
Banten menyebutnya Watu Gilang atau batu berkilau) . Akibat peristiwa
ini, Prabu Ragamulya Surya Kancana (1567-1579) beserta seluruh anggota
keluarganya menyelamatkan diri dari kaprabon yang menandai berakhirnya
Kemaharajaan Sunda.
Menurut
sumber sejarah Sumedang Larang, ketika peristiwa itu terjadi empat orang
kepercayaan Prabu Ragamulya Surya Kancana yang dikenal dengan Kandaga Lante
yang terdiri dari Sanghyang Hawu (Jayaperkosa), Batara Adipati Wiradijaya
(Nangganan), Sanghyang Kondanghapa dan Batara Pancar Buana (Terong Peot) berhasil
menyelamatkan atribut pakaian kebesaran Maharaja Sunda yang terdiri dari
mahkota emas simbol kekuasaan Raja Pakwan, kalung bersusun dua dan tiga, serta
perhiasan lainnya seperti benten, siger, tampekan, dan kilat bahu.
Atribut-atribut kebesaran tersebut kemudian diserahkan kepada Raden Angkawijaya
putera Ratu Inten Dewata (1530-1579) yang kemudian naik tahta Sumedang
Larang dengan gelar Prabu Geusan Ulun (1579-1601).
5. Silsilah Panjalu
ü
Situ Lengkong
Situ Lengkong
sekarang termasuk kedalam wilayah Desa/Kecamatan Panjalu Kabupaten Ciamis Jawa
Barat. Dalam Bahasa Sunda; kata situ artinya danau. Situ Lengkong atau
dikenal juga dengan Situ Panjalu terletak di ketinggian 700 m dpl. Di tengah
danau tersebut terdapat sebuah pulau yang dinamai Nusa Larang atau Nusa Gede
atau ada juga yang menyebutnya sebagai Nusa Panjalu. Menurut legenda rakyat dan
Babad Panjalu, Situ Lengkong adalah sebuah danau buatan, sebelumnya daerah ini
adalah kawasan legok (bhs. Sunda : lembah) yang mengelilingi bukit bernama
Pasir Jambu (Bhs. Sunda: pasir artinya bukit).
Ketika Sanghyang Borosngora
pulang menuntut ilmu dari tanah suci Mekkah, ia membawa cinderamata yang salah
satunya berupa air zamzam yang dibawa dalam gayung batok kelapa
berlubang-lubang (gayung bungbas). Air zamzam itu ditumpahkan ke dalam
lembah dan menjadi cikal-bakal atau induk air Situ Lengkong. Bukit yang ada di
tengah lembah itu menjelma menjadi sebuah pulau dan dinamai Nusa Larang,
artinya pulau terlarang atau pulau yang disucikan, sama halnya seperti kota
Mekkah yang berjuluk tanah haram yaitu tanah terlarang atau tanah yang
disucikan; artinya tidak sembarang orang boleh masuk dan terlarang berbuat hal
yang melanggar pantangan atau hukum di kawasan itu.
Pada masa pemerintahan Prabu Sanghyang Borosngora, pulau ini dijadikan
pusat pemerintahan Kerajaan Panjalu. Di Nusa Larang ini bersemayam juga jasad
tokoh-tokoh Kerajaan Panjalu yaitu Prabu Rahyang Kancana, Raden
Tumenggung Cakranagara III, Raden Demang Sumawijaya, Raden Demang
Aldakusumah, Raden Tumenggung Argakusumah (Cakranagara IV) dan Raden
Prajasasana Kyai Sakti.
Situ Lengkong memiliki luas kurang lebih 67,2 hektare, sedangkan Nusa
Larang mempunyai luas sekitar 16 hektare. Pulau ini telah ditetapkan sebagai
cagar alam sejak tanggal 21 Februari 1919. Nusa Larang ini pada zaman Kolonial
Belanda dinamai juga Pulau Koorders sebagai bentuk penghargaan kepada Dr
Koorders, seorang pendiri sekaligus ketua pertama Nederlandsch Indische
Vereeniging tot Natuurbescherming, yaitu sebuah perkumpulan perlindungan
alam Hindia Belanda yang didirikan tahun 1863.
Sebagai seorang yang menaruh perhatian besar pada botani, Koorders telah
memelopori pencatatan berbagai jenis pohon yang ada di Pulau Jawa. Pekerjaannya
mengumpulkan herbarium tersebut dilakukan bersama Th Valeton, seorang
ahli botani yang membantu melakukan penelitian ilmiah komposisi hutan
tropika.
Koorders dan rekannya itu pada akhirnya berhasil memberikan sumbangan pada
dunia ilmu pengetahuan. Berkat kerja kerasnya kemudian terlahir buku Bijdragen
tot de Kennis der Boomsoorten van Java, sebuah buku yang memberi sumbangan
pengetahuan tentang pohon-pohon yang tumbuh di Pulau Jawa.
Sebagai cagar alam, Nusa Larang memiliki vegetasi hutan primer yang relatif
masih utuh dan tumbuh secara alami. Di sana terdapat beberapa jenis flora
seperti Kondang (Ficus variegata), Kileho (Sauraula Sp), dan
Kihaji (Dysoxylum). Di bagian pulau yang lebih rendah tumbuh tanaman
Rotan (Calamus Sp), Tepus (Zingiberaceae), dan Langkap (Arenga).
ü Nyangku
Nyangku adalah suatu rangkaian prosesi adat penjamasan
(penyucian) benda-benda pusaka peninggalan Prabu Sanghyang Borosngora dan para
Raja serta Bupati Panjalu penerusnya yang tersimpan di Pasucian Bumi Alit.
Istilah Nyangku berasal dari kata bahasa Arab "yanko" yang
artinya membersihkan, mungkin karena kesalahan pengucapan lidah orang Sunda
sehingga entah sejak kapan kata yanko berubah menjadi nyangku.Upacara
Nyangku ini dilaksanakan pada Hari Senin atau Kamis terakhir Bulan Maulud
(Rabiul Awal).
Dalam
rangka mempersiapkan bahan-bahan untuk pelaksanaan upacara Nyangku ini pada
zaman dahulu biasanya semua keluarga keturunan Panjalu menyediakan beras merah
yang harus dikupas dengan tangan, bukan ditumbuk sebagaimana biasa. Beras merah
ini akan digunakan untuk membuat tumpeng dan sasajen (sesaji). Pelaksanaan
menguliti gabah merah dimulai sejak tanggal 1 Mulud sampai dengan satu hari
sebelum pelaksanaan Nyangku.
Disamping
itu, semua warga keturunan Panjalu melakukan ziarah ke makam Raja-raja Panjalu
dan bupati-bupati penerusnya terutama makam Prabu Rahyang Kancana di Nusa
Larang Situ Lengkong. Kemudian Kuncen (juru Kunci) Bumi Alit atau beberapa
petugas yang ditunjuk panitia pelaksanaan Nyangku melakukan pengambilan air
suci untuk membersihkan benda-benda pusaka yang berasal dari tujuh sumber mata
air, yaitu:
1. Sumber air Situ Lengkong2. Sumber air Karantenan Gunung Sawal
3. Sumber air Kapunduhan (makam Prabu Rahyang Kuning)
4. Sumber air Cipanjalu
5. Sumber air Kubang Kelong
6. Sumber air Pasanggrahan
7. Sumber air Bongbang Kancana
8. Sumber air gunung bitung
9. sumber air ciomas
Bahan-bahan lain yang diperlukan dalam pelaksanan upacara Nyangku adalah tujuh macam sesaji termasuk umbi-umbian, yaitu:
1. Tumpeng nasi merah
2. Tumpeng nasi kuning
3, Ayam panggang
4. Ikan dari Situ Lengkong
5. Sayur daun kelor
6. Telur ayam kampung
7. Umbi-umbian
Selanjutnya disertakan pula tujuh macam minuman, yaitu:
1. Kopi pahit
2. Kopi manis
3. Air putih
4. Air teh
5. Air Mawar
6. Air Bajigur
7. Rujak Pisang
Kelengkapan prosesi adat lainnya adalah sembilan payung dan kesenian gembyung untuk mengiringi jalannya upacara.
Pada malam harinya sebelum upacara Nyangku, dilaksanakanlah acara Muludan peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW yang dihadiri oleh para sesepuh Panjalu serta segenap masyarakat yang datang dari berbagai pelosok sehingga suasana malam itu benar-benar meriah, apalagi biasanya di alun-alun Panjalu juga diselenggarakan pasar malam yang semarak.
Keesokan paginya dengan berpakaian adat kerajaan para sesepuh Panjalu berjalan beriringan menuju Bumi Alit tempat benda-benda pusaka disimpan. Kemudian dibacakan puji-pujian dan shalawat Nabi Muhammad SAW. Selanjutnya benda-benda pusaka yang telah dibalut kain putih mulai disiapkan untuk diarak menuju tempat penjamasan. Perjalannya didiringi dengan irama gembyung (rebana) dan pembacaan Shalawat Nabi.
Setibanya di Situ Lengkong, dengan menggunakan perahu rombongan pembawa benda-benda pusaka itu menyeberang menuju Nusa Larang dengan dikawal oleh dua puluh perahu lainnya. Pusaka-pusaka kemudian diarak lagi menuju bangunan kecil yang ada di Nusa Larang. Benda-benda pusaka itu kemudian diletakan di atas alas kasur yang khusus disediakan untuk upacara Nyangku ini. Selanjutnya benda-benda pusaka satu persatu mulai dibuka dari kain putih pembungkusnya.
Setelah itu benda-benda pusaka segera dibersihkan dengan tujuh sumber mata air dan jeruk nipis, dimulai dengan pedang pusaka Prabu Sanghyang Borosngora dan dilanjutkan dengan pusaka-pusaka yang lain.
Tahap akhir, setelah benda-benda pusaka itu selesai dicuci lalu diolesi dengan minyak kelapa yang dibuat khusus untuk keperluan upacara ini, kemudian dibungkus kembali dengan cara melilitkan janur lalu dibungkus lagi dengan tujuh lapis kain putih dan diikat dengan memakai tali dari benang boeh. Setelah itu baru kemudian dikeringkan dengan asap kemenyan lalu diarak untuk disimpan kembali di Pasucian Bumi Alit.
Upacara adat Nyangku ini mirip dengan upacara Sekaten di Yogyakarta juga Panjang Jimat di Cirebon, hanya saja selain untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, acara Nyangku juga dimaksudkan untuk mengenang jasa Prabu Sanghyang Borosngora yang telah menyampaikan ajaran Islam kepada rakyat dan keturunannya.
Tradisi Nyangku ini konon telah dilaksanakan sejak zaman pemerintahan Prabu Sanghyang Borosngora, pada waktu itu, Sang Prabu menjadikan prosesi adat ini sebagai salah satu media Syiar Islam bagi rakyat Panjalu dan sekitarnya.
ü Bumi Alit
Pasucian Bumi Alit atau lebih
populer disebut Bumi Alit saja, mulai dibangun sebagai tempat penyimpanan
pusaka peninggalan Prabu Sanghyang Borosngora oleh Prabu Rahyang Kancana di
Dayeuh Nagasari, Ciomas. Kata-kata bumi alit dalam Bahasa Sunda berarti
"rumah kecil" .Benda-benda pusaka yang tersimpan di Bumi Alit itu antara lain adalah:
1. Pedang, cinderamata dari Baginda Ali RA, sebagai senjata yang digunakan untuk pembela diri dalam rangka menyebarluaskan agama Islam.
2. Cis, berupa tombak bermata dua atau dwisula yang berfungsi sebagai senjata pelindung dan kelengkapan dalam berdakwah atau berkhutbah dalam rangka menyebarluaskan ajaran agama Islam.
3. Keris Komando, senjata yang digunakan oleh Raja Panjalu sebagai penanda kedudukan bahwa ia seorang Raja Panjalu.
4. Keris, sebagai pegangan para Bupati Panjalu.
5. Pancaworo, digunakan sebagai senjata perang pada zaman dahulu.
6. Bangreng, digunakan sebagai senjata perang pada zaman dahulu.
7. Gong kecil, digunakan sebagai alat untuk mengumpulkan rakyat pada zaman dahulu.
8. Kujang, senjata perang khas Sunda peninggalan seorang petapa sakti bernama Pendita Gunawisesa Wiku Trenggana (Aki Garahang) yang diturunkan kepada para Raja Panjalu.
Pasucian Bumi Alit Panjalu 2009
Pada
masa pemerintahan Raden Tumenggung Wirapraja bangunan Bumi Alit dipindahkan
dari Dayeuh Nagasari, Ciomas ke Dayeuh Panjalu seiring dengan perpindahan
kediaman Bupati Tumenggung Wirapraja ke Dayeuh Panjalu. Pasucian Bumi Alit
dewasa ini terletak di Kebon Alas, Alun-alun Panjalu.
Pada
awalnya Bumi Alit berupa taman berlumut yang dibatasi dengan batu-batu besar
serta dilelilingi dengan pohon Waregu. Bangunan Bumi Alit berbentuk mirip
lumbung padi tradisional masyarakat Sunda berupa rumah panggung dengan
kaki-kaki yang tinggi, rangkanya terbuat dari bambu dan kayu berukir dengan
dinding terbuat dari bilik bambu sedangkan atapnya berbentuk seperti pelana
terbuat dari ijuk.
Ketika di Jawa Barat terjadi pengungsian akibat pendudukan tentara Jepang (1942-1945) benda-benda pusaka yang tersimpan di Pasucian Bumi Alit itu diselamatkan ke kediaman sesepuh tertua keluarga Panjalu yaitu Raden Hanafi Argadipradja, cucu Raden Demang Aldakusumah di Kebon Alas, Panjalu.
Begitu
pula ketika wilayah Jawa Barat berkecamuk pemberontakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) pimpinan S.M. Kartosuwiryo (1949-1962) yang marak dengan perampokan,
pembantaian dan pembakaran rumah penduduk. Para pemberontak DI/TII itu sempat
merampas benda-benda pusaka kerajaan Panjalu dari Bumi Alit. Pusaka-pusaka itu
kemudian baru ditemukan kembali oleh aparat TNI di hutan Gunung Sawal lalu
diserahkan kepada Raden Hanafi Argadipradja, kecuali pusaka Cis sampai sekarang
tidak diketahui keberadaannya.
Pada
tahun 1955, Bumi Alit dipugar oleh warga dan sesepuh Panjalu yang bernama R.H.
Sewaka (M. Sewaka) mantan Gubernur Jawa Barat (1947-1948, 1950-1952). Hasil
pemugaran itu menjadikan bentuk bangunan Bumi Alit yang sekarang, berupa
campuran bentuk mesjid zaman dahulu dengan bentuk modern, beratap susun tiga.
Di pintu masuk Museum Bumi Alit terdapat patung ular bermahkota dan di pintu
gerbangnya terdapat patung kepala gajah. Hingga kini, pemeliharaan Museum Bumi
Alit dilakukan oleh Pemerintah Desa Panjalu yang terhimpun dalam ‘Wargi
Panjalu’ di bawah pengawasan Dinas Pariwisata dan Budaya Kabupaten Ciamis.
1. Batara Tesnajati di Karantenan Gunung Sawal.
2. Batara Layah di Karantenan Gunung Sawal.
3. Batara Karimun Putih di Pasir Kaputihan Gunung Sawal.
4. Prabu Sanghyang Rangga Gumilang atau Sanghyang Rangga Sakti di
Cipanjalu, Desa Maparah, Panjalu.
5. Prabu Sanghyang Lembu Sampulur I di Cipanjalu, Desa Maparah,
Panjalu.
6. Prabu Sanghyang Cakradewa di Cipanjalu, Desa Maparah, Panjalu.
7. Prabu Sanghyang Lembu Sampulur II di Cimalaka Gunung Tampomas,
Sumedang.
8. Prabu Sanghyang Borosngora (adik Sanghyang Lembu Sampulur II) di
Jampang Manggung, Sukabumi.
9. Prabu Haryang Kuning di Kapunduhan Cibungur, Desa Kertamandala,
Panjalu.
10. Prabu Haryang Kancana (adik Prabu Rahyang Kuning) di Nusa
Larang, Situ Lengkong Panjalu.
11. Prabu Haryang Kuluk Kukunangteko di Cilanglung Desa simpar,
Panjalu.
12. Prabu Haryang Kanjut Kadali Kancana di Sareupeun, Desa
Hujungtiwu, Panjalu.
13. Prabu Haryang Kadacayut Martabaya di Hujung Winangun, Situ
Lengkong Panjalu.
14. Prabu Haryang Kunang Natabaya di Ciramping, Desa Simpar,
Panjalu.
15. Raden Arya Sumalah di Buninagara, Desa Simpar, Panjalu.
16. Pangeran Arya Sacanata (adik R. Arya Sumalah) di Nombo
Dayeuhluhur, Kabupaten Cilacap Jawa Tengah.
17. Raden Arya Wirabaya (anak R. Arya Sumalah) di Cilamping,
Panjalu.
18. Raden Tumenggung Wirapraja (anak R. Arya Wirabaya) di Kebon Alas
Warudoyong, Panumbangan Ciamis.
19. Raden Tumenggung Cakranagara I (anak R. Arya Wiradipa bin
Pangeran Arya Sacanata) di Cinagara, Panjalu.
20. Raden Tumenggung Cakranagara II di Puspaligar, Panjalu.
21. Raden Tumenggung Cakranagara III di Nusa Larang, Situ Lengkong
Panjalu.
22. Raden Demang Sumawijaya di Nusa Larang, Situ Lengkong Panjalu.
23. Raden Demang Aldakusumah di Nusa Larang, Situ Lengkong Panjalu.
Bab 4 Penutup
Demikian
yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam buku
ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, karena terbatasnya
pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungan nya dengang
judul buku ini.
Semoga
buku ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca pada umumnya.
Daftar Pustaka
·
Argadipraja,
R. Duke. (1992). Babad Panjalu
Galur Raja-raja Tatar Sunda. Bandung: Mekar Rahayu.
·
Atlas Indonesia &
Dunia Edisi 33 Propinsi di Indonesia. (2000). Jakarta. Pustaka Sandro.
·
Ayatrohaedi.
(2005). Sundakala: Cuplikan Sejarah
Sunda Berdasarkan Naskah-naskah "Panitia Wangsakerta" dari Cirebon.
Jakarta: Pustaka Jaya.
·
Babad Tanah Jawi (terj). 2007.
Yogyakarta: Narasi.
·
Hidayat,
Yayat.
Mengenal Warisan Kerajaan Panjalu.
Artikel Majalah Misteri Edisi 20 Peb - 04 Mar 2010.
·
Iskandar, Yoseph (1997).
Sejarah Jawa Barat: Yuganing
Rajakawasa. Bandung: Geger Sunten.
·
Muljana,
Slamet.
(1979). Nagarakretagama dan Tafsir
Sejarahnya. Jakarta: Bhratara.
·
Munoz,
Paul Michel.
(2006). Early Kingdoms of Indonesian
Archipelago and the Malay Peninsula. Singapore: Editions Didier Millet
Pte Ltd.
·
Suganda,
Her.
Situ Lengkong dan Nusalarang, Wisata
Alami yang Islami. Artikel Harian Kompas, 21 Juni 2003.
·
Suganda,
Her.
Naskah Sunda Kuno Antara Sejarah dan
Nilai Sakral. Artikel Harian Kompas, 24 Mei 2008.
·
Sukardja,
H.Djadja.
(2002). Situs Karangkamulyan.
Ciamis: H. Djadja Sukardja S.
·
Sutarwan,
Aam Permana.
Gus Dur "Merevisi" Sejarah
Situ Lengkong Panjalu, Air Situ Lengkong berasal dari Mekah. Artikel
Harian Pikiran Rakyat, 10 Juli 2000.
·
Sumaryadi,
Sugeng/Eriez M Rizal.
Menengok Rahasia Sukses Warga Panjalu.
Artikel Harian Media Indonesia, 13 Maret 2004.
·
Sumaryadi,
Sugeng.
Sejarah Panjang yang Terus Dikenang.
Artikel Harian Media Indonesia, 13 Maret 2004.
·
Tim Peneliti Sejarah
Galuh (1972). Galuh
Ciamis dan Tinjauan Sejarah.
pposting by : anas nurrohman